TEKS LAPORAN OBSERVASI RUMAH ADAT PANGLIPURAN
RUMAH ADAT PANGLIPURAN
Panglipuran adalah salah satu desa adat yang terkenal sebagai destinasi wisata dari Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Indonesia. Masyarakat di desa ini masih menjalankan dan melestarikan budaya tradisional bali di kehidupan sehari-hari. Arstektur bangunan danpengolahan lahan masih mengikuti konsep Tri Hita Karana, filosofi masyarakat bali mengenai keseimbangan hubunga antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Hal ini membuat ketertarikan sendiri bagi para turis untuk datang berkunjung. Masyarakat Penglipuran menyadari potensi mereka dan mengaplikasikan “Pariwisata berbasis Komunitas” untuk menghindari kapitalisme pariwisata di desa mereka. Dengan konsep ini, tidak ada masyarakat yang akan mendapatkan keuntungan langsung dari pariwisata, karena keuntungan tersebut akan dialokasikan untuk pembangungan desa. Aktor pariwisata seperti pemandu wisata, penjaga tiket dan petugas lainnya akan dipekerjakan langsung oleh desa dan mendapatkan bayaran dari jumlah keuntungan yang didapat.
Selain itu, sebelum konsep ini dilaksanakan, masyarakat Desa Penglipuran biasanya bisa mendapatkan keuntungan dengan mengundang masuk turis ke pekarangan mereka sambil menjelaskan tradisi dan budaya mereka. Hal ini dianggap tidak adil karena pekarangan yang jauh dari pintu utama cenderung mendapatkan lebih sedikit kesempatan. Oleh karena itu, melalui konsep baru ini, semua pekarangan diberikan nomor dan pemandu wisata akan memberikan nomor dengan sistem berputar kepada kelompok turis yang datang berkunjung. Setiap rumah juga diberikan kesempatan untuk menjual suvenir di pekarangan mereka.
Desa Adat Penglipuran juga memiliki hutan bambu yang merupakan salah satu bambu terbaik yang terdapat di Bali. Masyarakat Penglipuran memercayai bahwa hutan tersebut tidak tumbuh sendiri melainkan di tanam oleh pendahulu mereka. Oleh sebab itu, bambu dianggap sebagai simbol akar sejarah mereka. Sebagian dari hutan tersebut dikelola langsung dibawah Adat Desa sebagai Laba Pura (diperuntukan untuk pemeliharaan bangunan pura) sedangkan sebagian dikelola oleh beberapa penduduk dengan status hak pakai. Bambu juga dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran sebagai bahan untuk membuat bangunan maupun rumah.
Panglipuran adalah salah satu desa adat yang terkenal sebagai destinasi wisata dari Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Indonesia. Masyarakat di desa ini masih menjalankan dan melestarikan budaya tradisional bali di kehidupan sehari-hari. Arstektur bangunan danpengolahan lahan masih mengikuti konsep Tri Hita Karana, filosofi masyarakat bali mengenai keseimbangan hubunga antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Hal ini membuat ketertarikan sendiri bagi para turis untuk datang berkunjung. Masyarakat Penglipuran menyadari potensi mereka dan mengaplikasikan “Pariwisata berbasis Komunitas” untuk menghindari kapitalisme pariwisata di desa mereka. Dengan konsep ini, tidak ada masyarakat yang akan mendapatkan keuntungan langsung dari pariwisata, karena keuntungan tersebut akan dialokasikan untuk pembangungan desa. Aktor pariwisata seperti pemandu wisata, penjaga tiket dan petugas lainnya akan dipekerjakan langsung oleh desa dan mendapatkan bayaran dari jumlah keuntungan yang didapat.
Selain itu, sebelum konsep ini dilaksanakan, masyarakat Desa Penglipuran biasanya bisa mendapatkan keuntungan dengan mengundang masuk turis ke pekarangan mereka sambil menjelaskan tradisi dan budaya mereka. Hal ini dianggap tidak adil karena pekarangan yang jauh dari pintu utama cenderung mendapatkan lebih sedikit kesempatan. Oleh karena itu, melalui konsep baru ini, semua pekarangan diberikan nomor dan pemandu wisata akan memberikan nomor dengan sistem berputar kepada kelompok turis yang datang berkunjung. Setiap rumah juga diberikan kesempatan untuk menjual suvenir di pekarangan mereka.
Desa Adat Penglipuran juga memiliki hutan bambu yang merupakan salah satu bambu terbaik yang terdapat di Bali. Masyarakat Penglipuran memercayai bahwa hutan tersebut tidak tumbuh sendiri melainkan di tanam oleh pendahulu mereka. Oleh sebab itu, bambu dianggap sebagai simbol akar sejarah mereka. Sebagian dari hutan tersebut dikelola langsung dibawah Adat Desa sebagai Laba Pura (diperuntukan untuk pemeliharaan bangunan pura) sedangkan sebagian dikelola oleh beberapa penduduk dengan status hak pakai. Bambu juga dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran sebagai bahan untuk membuat bangunan maupun rumah.
Untuk
mencapai keharmonisan bersama dalam bermasyarakat, warga Desa Adat Penglipuran
mempunyai 2 jenis hukum yang mereka taati dan ikuti yaitu Awig
(peraturan tertulis) dan Drestha (adat kebiasaan tak tertulis).
Bagi
masyarakat Desa Penglipuran, mempunyai lebih dari satu istri merupakan hal yang
dilarang. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri maka ia dan
istri-istrinya harus pindah ke karang
memadu. Hak dan kewajibannya sebagai warga Desa Adat Penglipuran juga akan
dicabut. Setelah orang tersebut pindah, maka akan dibuatkan rumah oleh warga
desa tetapi mereka tidak akan boleh melewati jalanan umum ataupun memasuki Pura
dan mengikuti kegiatan adat.
Total
area dari desa ini mencapai 112 hektar dengan ketinggian 500-600 meter diatas
laut dan berlokasi sekitar 5 kilometer dari kota Bangli atau 45 kilometer dari
Kota Denpasar. Desa ini dikelilingi oleh desa adat lainnya, seperti Desa Kayang
di utara, Desa Kubu di timur, Desa Gunaksa di selatan dan Desa Cekeng.
Temperatur bervariasi dari sejuk sampai dingin (16-29 °C) dan curah hujan
rata-rata 2000 mm pertahun. Permukaan tanah termasuk rendah dengan ketinggian
1-15 meter.
Komentar
Posting Komentar